Kabar duka ini diumumkan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Sukabumi, yang menerima laporan wafatnya N satu pekan setelah buruh migran tersebut meninggal.
Ketua SBMI Sukabumi, Jejen Nurjanah, menjelaskan bahwa N diduga meninggal akibat vertigo yang tiba-tiba kambuh.
“Menurut informasi yang diperoleh, N sempat jatuh dan tidak pernah pulih hingga akhirnya meninggal dunia di Saudi Arabia,” kata Jejen, ditemui Senin (17/11/2025).
Kasus pemulangan jenazah N menghadapi kendala serius karena N bekerja secara unprosedural atau ilegal.
N diketahui melarikan diri dari majikannya dan tinggal di kontrakan bersama sesama buruh migran. Status ilegal ini menghalangi upaya pemulangan jenazah.
“Korban memang bekerja secara tidak prosedural dan sempat melarikan diri dari majikannya. Saat sakit dan meninggal dunia, tidak ada dokumen formal yang bisa menjadi dasar pemulangan jenazah. Kami kemudian memberikan pendampingan komunikasi dan mediasi dengan KBRI, membicarakan opsi terbaik,” jelasnya.
Setelah berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk dinas dan aparat desa setempat, keluarga N akhirnya merelakan N dimakamkan di Arab Saudi.
Keputusan ini diambil karena proses pemulangan dinilai terlalu berisiko dan sulit diwujudkan akibat status keimigrasiannya.
“Dalam koordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja, DP3A, Camat, hingga Kepala Desa, keluarga menyatakan merelakan N dimakamkan di sana. Bahkan pihak KBRI meminta surat pernyataan resmi dari keluarga untuk mengesahkan keputusan itu,” jelasnya.
Jenazah N telah dimakamkan di Arab Saudi pada Jumat (14/11) lalu, dengan proses yang didukung dokumentasi resmi dari otoritas setempat.
Kasus ini mempertegas daftar panjang risiko yang dihadapi oleh buruh migran yang memilih jalur non-prosedural.
Selain itu, N yang bercerai dan meninggalkan dua anak di tanah air, kini harus dimakamkan di negeri orang, menjadi peringatan pahit bagi calon PMI lainnya.
Jejen menggarisbawahi alasan klasik di balik pilihan tersebut, yaitu godaan tawaran cepat, gaji besar, serta minimnya informasi resmi.
“Ini persoalan klasik. Mereka berangkat lewat jalur tak resmi karena tergiur tawaran cepat dan gaji besar. Tapi ketika terjadi sesuatu, baru terasa betapa beresiko,” pungkasnya.
Reporter: FR
